Adalah situs http://www.visualcapitalist.com yang beberapa waktu lalu membuat info grafis terhadap korporasi mana yang paling terkaya di dunia, sepanjang masa, minimal hingga saat ini. Dan ternyata, dari data perusahaan yang ada diseluruh dunia, di olah dan di seleksi, kemudian pilihannya jatuh ke VOC. Ya, perusahaan kumpeni yang pernah menjajah Indonesia selama 350 tahun itu. Bahkan, dari situ juga dinyatakan bahwa, jika kekayaan 20 korporasi modern yang saat ini sangat tajir digabungkan, maka VOC masih yang paling kaya (the most valuable). Kekayaan VOC ditaksir sebesar 7,9 US$ triliun. Dengan catatan bahwa kekayaannya diselaraskan dengan nilai inflasi dari tahun ke tahun.
VOC sesungguhnya merupakan Kongsi Dagang atau Perusahaan Hindia Timur Belanda (Vereenigde Oostindische Compagnie) yang didirikan pada tanggal 20 Maret 1602, adalah persekutuan dagang asal Belanda yang memiliki monopoli untuk aktivitas perdagangan di Asia. Dan basisnya adalah nusantara.
Tentang bagaimana VOC meraup kekayaan, bisa kita baca di buku-buku sejarah. Dan sebagaimana dalam catatan sejarah, VOC kemudian menggunakan instrumen negara Belanda, termasuk memobilisir militernya untuk menjajah Indonesia. Perselingkuhan antara korporasi dan negara ini serta dukungan kekuatan militer, kemudian cukup sukses mengantarkan VOC, sebagai perusahaan terbesar sepanjang sejarah. Dan, sudah barang tentu kekayaan yang dihimpun oleh VOC, sumbangan terbesar didapatkan dari mengeruk kekayaan bumi pertiwi. Sebuah catatan sejarah kelam negeri ini, yang kemudian membagi rakyat dalam kelas sosial ekonomi. Dimana menempatkan inlander (pribumi) sebagai kasta terendah.
Sejarah berulang
Saat ini, dengan cara lain sesungguhnya penjajahan oleh korporasi atas negara ini terus saja berlangsung. Baik penjajahan korporasi konvensional dengan mengeruk sumberdaya alam, juga dilakukan dengan penjajahan-digital yang lebih dahsyat. Namun prinsipnya sama. Menguasai resource sebuah negara dengan menggunakan “tangan negara” pula. Melalui Multi National Corporation (MNC) membuka berbagai perwakilannya di negeri ini.
Jika dulu melalui penguasaan fisik, dan mengerahkan tentara untuk mencapai tujuannya, meski juga memanfaatkan pejabat kerajaan dan para centeng. Jika dulu pelakunya satu negara, kini keroyokan banyak negara. Sehingga mesti substansinya sama, tetapi ada modifikasi. Penguasaannya didesain melalui regulasi, kongkalikong dengan penguasa, dan tetap mempergunakan alat negara. Pelakunya bisa jaringan MNC yang berkolaborasi dengan korporasi dalam negeri. Atau MNC sendiri, dan korporasi dalam negeri sendiri. Obyeknya sama penguasaan kekayaan dalam negeri. Pendukungnya sama, pejabat korup. Dan dibeberapa tempat ada dukungan oknum militer. Dan sudah barang tentu korbannya sama, rakyat jelata. Tidak ada keberpihakan terhadap rakyat, yang ada terus menghisap, sampai kenyang dan tidak ada lagi yang bisa dihisap, baru berpindah ke tempat lain. Persis seperti lintah. Mesin kapitalis bekerja sesuai dengan SOP kapitalis liberal. Rakus, tamak, serakah dan seterusnya.
Hal ini merupakan perulangan sejarah. Hanya aktornya yang berbeda. Rakyat menjadi lemah dan dilemahkan. Baik secara kultural maupun struktural. Seolah pemiskinan menjadi proyek yang tak berkesudahan. Hal ini bisa kita lihat penguasaan korporasi asing dinegeri ini, diberbagai bidang. Pertambangan, Oil & gas, perbankan, telekomunikasi, otomotif, ritel, dlsb. Jika di breakdown akan mencenangkan. Sebab regulasi di negeri ini membolehkan, diberbagai sektor, asing untik mengusai hingga 99%. Belum lagi gempuran produk China yang semakin menggila. Hal ini mengkonfirmasi, negeri ini belum merdeka, secara ekonomi.
Belum terkapitalisasi
Hampir seperempat penduduk bumi adalah muslim. Delapan puluh tujuh persen lebih, penduduk Indonesia juga muslim. Namun hanya 12 persen menguasai kue ekonomi. Ada disparitas. Ada kesenjangan dan ketidakadilan. Secara makro umat Islam mesti sadar atas kondisi dan situasi ini. Cara yang paling jitu untuk terhindar dari penjajahan adalah melawannya. Dan kata Tsun Tzu bahwa pertahanan terbaik adalah menyerang.
Kita, sebagai muslim mesti sadar tentang hal ini, namun seringkali sibuk dalam diskusi, musyawarah dan perilaku sejenisnya. Miskin eksekusi. Sehingga menjadi slow response. Sementara kita masih sibuk berdiskusi, mereka terus ekspansi dan semakin kuat cengkeramannya. Sebuah ironi, terapi itu faktanya.
Banyak momentum telah lahir. Misal aksi dan reuni 212. Namun meski disinyalir dan diteriakkan sebagai momemtum kebangkitan umat, termasuk sektor ekonomi, namun masih belum mampu di kapitalisasi sebagai kekuatan ekonomi umat. Ada pergerakan memang, tetapi tidak cukup signifikan untuk menggoyang cengkeraman mereka. Disektor Financial misalnya, market sharenya masih 5 persen, demikian juga jumlah retail, pertumbuhan kita, paling 3 outlet per bulan, sementara mereka masing-masing bisa 3 outlet perhari, dan seterusnya.
Merebut kue ekonomi
Tidak ada kata lain selain kita harus merebut kue ekonomi itu. Sebagaimana dalam tulisan-tulisan saya sebelumnya. Dan saya sangat concern untuk urusan ini. Kita perlu membangun korporasi berjama’ah. Korporasi inilah yang akan memenuhi hajat hidup orang banyak. Yang dibangun dari, oleh dan untuk umat.
Jika kesadaran seperti ini lahir, tumbuh berkembang, masif dan terus membesar, Insya Allah akan menjadi bentuk perlawanan atas korporasi kapitalis liberal yang merajalela itu. Kita tidak bisa menunggu. Kita mesti proaktif. Harus dimulai saat ini. Kita mesti menjadi bagian dari perlawanan ini. Dan sekali lagi, kita harus jadi tuan di negeri sendiri. Sebuah diksi yang tak ada jemunya untuk saya ulang. Wallahu a’lam.
Depok, 8 Januari 2018