Tahun 2018 telah datang. Tahun ini dikatakan sebagai tahun politik. Bersebab ramainya, hiruk pikuk Pilkada yang akan mewarnai tahun ini. Meski aromanya sudah mulai menyengat pada tahun 2017. Maka tahun ini akan lebih kuat lagi. Media masa dan juga medsos, akan ramai dengan pemberitaan. Baik yang benar, Hoax maupun pencitraan.
Setidaknya ada 171 pilkada yang akan berlangsung di tahun ini. Pilkada tahun ini akan terasa lain. Sebab akan dipakai sebagai ajang warming up menuju Pilpres 2019 nanti. Sehingga siapa yang bisa memenangkan Pilkada tahun 2018, akan menjadi modal untuk menarik suara pada tahun 2019. Baik kepentingan legislatif maupun eksekutif. Meski dalam prakteknya tidak sesimpel itu. Namun, begitulah pendapat kawan baik saya, yang bertahun-tahun terlibat pemenangan baik Pilkada maupun Pilpres.
Menurut Prof. Meriam Budiardjo, Politik adalah bermacam-macam kegiatan dalam study system politik (atau Negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan dari system itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu yaitu tujuan yang menyangkut dari seluruh masyarakat (public goals) dan bukan tujuan pribadi (private goals).
Sedangkan dalam Islam, politik sering disamakan dengan Siyasah. Kata Siyasah berasal dari kata Sasa. Kata ini dalam kamus Al-Munjid dan lisan Al-‘Arab berarti mengatur, mengurus, dan memerintah. Siasah bisa juga berarti pemerintahan dan politik, atau membuat kebijaksanaan. Abdul Wahhab Khallaf mengutip ungkapan Al-Maqrizi menyatakan, arti kata Siyasah adalah mengatur.
Jika mengikuti kedua sudut pandang tersebut di atas, maka seharusnya tahun politik ini, bukan dimaknai sebagai perebutan kekuasaan. Apalagi hanya untuk memenuhi ambisi dan kepentingan pribadi. Tetapi merupakan wahana berlomba-lomba untuk mengabdi demi merealisasikan tujuan bernegara. Dalam konteks Indonesia, semuanya sudah dirumuskan oleh founding fathers, yang dituang dalam pembukaan UUD ’45.
Sehingga politik bukan sesuatu yang hina, dijauhi dan digelisahkan . Sebagaimana yang banyak di salah artikan oleh sebagian orang selama ini, bahwa politik berarti menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Dan, sialnya praktek seperti ini yang nampak. Jika politik dipahami seperti ini, maka akan terjadi proses transaksional, dampaknya hanya mengejar hitungan untung rugi. Pasti tidak akan pernah memikirkan rakyat. Karena dia akan terus mengumpulkan dana dengan cara apapun untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan. Regulasi yang dikeluarkan akan menguntungkan diri dan kelompoknya. Rakyat diperas dlsb.
Maka, menghadapi tahun politik, kita mesti cerdas dan bijak menyikapinya. Jangan mudah ditipu dan dibohongi oleh janji-janji manis. Menjadi pemilih cerdas berarti memilih mereka yang akan memperjuangkan aspirasi kita. Melihat track recordnya, dan kiprahnya selama ini. Bagaimana kedekatan dan keberpihakannya terhadap umat. Termasuk melihat jejak digitalnya. Jika dia pernah menjadi pemimpin, bagaimana dia menunaikan janji-janjinya, atau malah ingkar terhadap janji. Dan kita bisa menuliskan berbagai parameter lainnya, sesuai dengan apa yang kita inginkan. Intinya mereka yang memusuhi dien dan umat, tinggalkan. Mereka yang dukung tegaknya dienuLlah dan tidak menghalangi dakwah, dukunglah. Dengan demikian, menghadapi tahun politik tidak harus membuat kita bingung. Justru woles saja. Biarkan mereka yang bertarung yang pusing.