Dalam berbagai tulisan yang saya buat di blog ini, selalu menampilkan banyak data dan fakta bahwa, umat islam setidaknya hingga saat ini tertinggal jauh di bidang ekonomi. Tidak hanya di sini, di negara ini, tetapi merata diseluruh dunia. Pendeknya dunia islam, kalah di sektor ekonomi. Hanya sedikit negara-negara muslim, yang secara ekonomi tidak tertinggal, dan malah unggul. Berbagai analisis, telah di tulis dan diaeminarkan oleh para ulama, akademisi, pakar dan cerdik cendekia. Bermacam rekomendasi, bahkan rencana tindak lanjut, telah dihasilkan. Proceedings, karya ilmiah telah banyak dimuat dan diterbitkan di berbagai jurnal. Namun faktanya, masih saja ketertinggalan itu terjadi, jika tidak bisa dikatakan lebih parah.
Jika memiliki data 100 orang terkaya Indonesia, yang dirilis oleh berbagai media, menempatkan ada sekitar 10 orang, alias sepuluh persen dari daftar orang terkaya tersebut yang muslim. Dan kebanyakan korporasi individu. Sehingga justru semakin menegaskan bahwa, tidak ada kesadaran kolektif untuk kaya. Padahal mayoritas bangsa ini adalah muslim. Azas keadilan masih belum berlaku. Benar bahwa secara individu, sepuluh orang yangtersebut, belum bisa dikatakan mewakili umat Islam. Sebab ternyata secara mayoritas justru sebaliknya.
Umat Islam ini sesungguhnya memiliki konsep yang luar biasa unggul, yaitu berjama’ah. Yang seharusnya bisa di implementasikan dalam berbagai aspek kehidupan. Namun kenyataannya yang dipahami, baru sebatas pada pelaksanaan sholat. Itu pun ternyata masih banyak yang enggan untuk melaksanakan Sholat berjama’ah 5 waktu. Hal ini juga bisa kita lihat secara politik, dimana umat yang mayoritas, ini ternyata di parlemen, perwakilan partai berazas islam dan memihak kepentingan islam, prosentasinya kalah dengan partai sekuler dlsb.
Namun selalu saja Allah SWT memberikan “hiburan” bagi umat-Nya. Alhamdulillah paska aksi- aksi umat islam yang berjilid-jilid beberapa tahun belakangan ini, telah menunjukkan arti penting berjama’ah. Kesadaran ini telah mulai tumbuh. Meskipun masih belum bisa di kapitalisasi menjadi kekuatan ekonomi yang memenangkan. Namun ghirah umat patut diapresiasi, di pelihara dan ditingkatkan, baik kualitas maupun kuantitasnya.
Yang kelihatan di permukaan adalah semangat individu, kelompok dan golongannya yang masih mendominasi . Maka perpecahan partai, Ormas, yayasan islam dlsb sering terjadi. Kesadaran berjama’ah belum menjadi kebutuhan pokok. Umat masih dalam bentuk kerumunan dan bergelombol. Belum berkelompok dan menjadi team, apalagi berjama’ah. Tetapi sudah bukan lagi sebagai buah, sebagaimana dituduhkan oleh mereka yang berpikiran kerdil. Mereka telah menunjukkan eksistensinya, bahwa mereka adalah penentu. Sudah saatnya jadi subjek, bukan jadi obyek. Tinggal, di engineering Insya Allah akan menjadi kekuatan utama.
Demikian halnya berkenaan dengan Ekonomi. Kita mesti berjama’a. Hidupkan Syirkah dan Mudhorobah sebagai basis pengembangan ekonomi umat yang di bangun atas ekonomi anti riba. Sehingga menegakkan jual-beli, tinggalkan riba. Ini kerja raksasa. Namun mesti di mulai saat ini, dari yang mikro sekalipun. Bisa dimulai dari halaqah-halaqah, masjid, majelis taklim, Pesantren dan seterusnya. Sehingga akan menjadi snowballing, berlanjut menjadi kekuatan ekonomi riil. Sebagaimana dicontohkan oleh Abdurrahman bin Auf saat umat Islam menguasai ekonomi Madinah dan menumbangkan ekonomi anti riba, menggul yang selama itu di dominasi oleh Yahudi Bani Qainuqa. Yaitu dengan menghidupkan Syirkah, dimana tidak ada satupun pebisnis Madinah yang tidak bersekutu dengan beliau. Disamping itu Rasulullah memerintahkan untuk membangun pasar, yang berbeda dengan pasar yang selama ini berjalan. Pasar yang meninggalkan praktek riba yang marak, digantikan dengan pasar berbasis islam. Artinya, saat itu, Islam dalam mengembangkan ekonomi mengedepankan sinergitas dalam berbagai jenis usaha, berhimpun dalam sebuah kekuatan ekonomi, yang dikoordinir oleh Abdurrahman bin Auf. Mereka para pebisnis dan pedagang itu, tetap menjalankan aktivitasnya masing-masing. Dan inilah ekonomi Jama’ah itu. Yang menjadi kekuatan ekonomi sesungguhnya. Tinggal kita implementasikan dalam konteks kekinian. Wallahu a’lam