entrepreneur, technopreneur, Entrepreneurship, Peradaban

Senjakala Bisnis Ritel – Shifting To The Muslim Retail?


Satu persatu bisnis ritel modern berjatuhan. Seolah mengkonfirmasi hukum alam. Siapa yang kuat menang, siapa yang lemah tumbang. Meski tidak persis seperti demikian. Namun realitas dilapangan menunjukkan bahwa, tidak mesti yang lemah (secara modal) yang bertumbangan. Yang kuatpun dipaksa harus hengkang dalam persaingan. Kompetisi bisnis, selalu mengedepankan adu kuat dalam strategi, selain modal. Pertarungan yang berujung pada menang-kalah. Sesuatu yang biasa dalam bisnis. Namun hal ini tidak diduga sebelumnya. Sebuah tahapan, kematian sebelum waktu, berdasarkan kalkulasi dan prediksi. Apalagi, jika melihat fakta, bahwa dalam 5-10 tahun sebelumnya, mereka adalah pemain yang perkasa. Seolah tak terkalahkan dan tak ada matinya. Namun, kini mereka harus menerima kenyataan. Berhenti dan mati.

Bukan berarti mereka tidak melakukan inovasi. Bukan pula tidak punya strategi. Mereka pasti faham adagium, inovasi atau mati. Mereka sudah barang tentu meng-hire world class consultant, untuk menjaga dan memperbesar bisnisnya. Dan sudah barang tentu, para konsultan itu merumuskan berbagai jenis perencanaan dan exit strategy. Setelah memperhitungkan berbagai macam variable dan melakukan ekstrapolasi. kemudian melahirkan plan A, B, C dan seterusnya. Di atas kertas, hitungan para konsultan itu, tentu menunjukkan kemenangan dalam persaingan, yang artinya keuntungan meningkat, serta diikuti dengan strategi implementasi yang jitu. Namun, siapa yang bisa melawan perubahan. Sehingga hitungan tinggal hanya hitungan. Dan, inilah wajah senjakala dari ritel modern itu. Senjakala yang terus berjalan, dan akan melibas semua bisnis ritel, tak terkecuali, jika tidak ada perubahan.

Apa Sebabnya?

Kita tidak bisa menyalahkan siapa-siapa. Kita tidak bisa mengutuk waktu. Sebab ini tidak terjadi di Indonesia. Di belahan bumi lain, rontoknya bisnis ritel modern ini, juga menghiasi media. Darinya, muncul berbagai analisa dan spekulasi. Mereka semua berusaha obyektif dan berbasis data. Namun, kita tidak pernah tahu, dari sekian pendapat itu, mana sesungguhnya yang paling benar. Semua mengandung unsur kebenaran, tergantung dari sudut pandang mana di lihat. Justru ini menambah kazanah pemahaman dan pengetahuan kita. Biarlah para ahli, saling beradu argumen, dalam melihat fenomena ini. Tentu akan menjadi pembelajaran yang mencerahkan.

Prof. Reinald Khasali misalnya, beliau berpendapat bahwa apa yang terjadi di ritel modern ini, dengan bertumbangan dan juga menurunnya laba, adalah bersebab dari adanya shifting ke transaksi online. Artinya perilaku konsumen sudah berubah, dari belanja ke ritel modern ke e-commerce alias bisnis online. Dan tentu saja beliau menyertakan berbagai contoh.

Lain halnya dengan Yuswohady, beliau berpendapat selain terjadi shifting, sebagainaya Prof. RK, beliau juga melihat ada perilaku konsumen Indonesia, yang tidak hanya berfikir ke kebutuhan pokok (basic need) yang bisa dibeli melalui ritel modern. Namun, mereka telah bergeser untuk memenenuhi kebutuhan dari non leisure ke leisure. Hal ini disebabkan kemudahan dan murahnya beli tiket dan hotel serta tempat wisata melalui travel online, yang menurut mas Siwo sebagai Traveloka Effect.

Sedangkan survey yang dilakukan oleh Nielsen, yang juga didahului oleh pendapat Rizal Ramli di media, yang jelas menunjukkan adanya penurunan daya beli masyarakat. Meski sempat di bantah oleh pemerintah, yang kemudian akhirnya Menteri Perdagangan, meng-iyakan. Hal ini sekaligus juga menjawab thesis Prof RK, jika yang terjadi shifting ke online dan bukan menurunnya daya beli. Sebab, menurut Nielsen, transaksi online masih kurang dari 2% dari transaksi konvensional. Jadi penurunan daya beli itu fakta, bukan cerita atau karangan.

Lain lagi dengan pendapat Ibu Sri Mulyani, menurut Menteri Keuangan itu, yang terjadi bukan menurunnya daya beli masyarakat, namun masyarakat menahan tidak belanja. Masyarakat lebih mementingkan kebutuhan pokok, yang bisa didapat disekitarnya, dibanding membeli di took modern.

Dan masih banyak lagi yang berpendapat lain. Misalnya ketatnya persaingan di bisnis ritel ini, jugayang menyebabkan mereka saling bertumbangan. Namun, sekali lagi pendapat tersebut diatas, sesungguhnya bukan saling menegasikan. Namun saling melengkapi atas kondisi riil di bisnis ritel modern kini.

 

Mereka yang Tumbang

Dari info grafis yang didapat di detik.com, fenomena berjatuhannya ritel modern ini terjadi sejak tahun 2015. Yaitu diawali dengan ditutupkannya 74 gerai Hero Supermarket. Tahun 2016, ditutupnya 54 gerai Start Mart yang kemudian di rubah namanya menjadi Family Mart. Pada Juni 2017, ditutupnya 300 gerai 7-eleven. Ditutunya 8 gerai Ramayana di bulan Agustus. Ditutupnya 2 gerai Matahatri Departement Store di Pasaraya Blok M dan Manggarai. Bulan Oktober kemarin di tutup 5 gerai Lotus Departement Store di Jakarta dan Bekasi, serta info terakhir akan ditutupnya Debernhams di Senayan City, Mall Karawaci dan Kemang Village.

Meski luput dari pemberitaan media, SB-Mart sebuah jaringan ritel modern yang eksis di Jawa Barat juga, sudah beberapa waktu, banyak menutup gerainya. Dan info terakhir Distribution Center-nya akan di take over oleh salah satu pemain ritel modern muslim. Selain penutupan gerai tersebut, ternyata pada semester I tahun 2017, Alfamart dan Indomart, sebagai penguasa jaringan ritel, yang merambah sampai ke kampong-kampung, juga mengalami penurunan laba.

 

Anomali

Di saat jaringa ritel modern bertumbangan, anehnya justru bermunculan ritel baru, yang merepresentasikan identitas muslim. Baik mereka yang di trigger oleh semangat 212, ataupun yang berdiri jauh sebelum itu, dan kemudian medapatkan momentumnya. Mereka, tetap eksis, dan justru terus melakukan ekspansi bisnisnya.

Jaringan Supermarket Tip Top misalnya, disemua gerainya, tetap ramai dikunjungi oleh pembeli setia. Jaringan Sakinah Mart milik Hidayatullah, di Jawa Timur juga terus menambah gerainya. Jaringan Surya Mart milik Muhammadiyah terus ekspansi. Minimarket Basmalah, milik Pondok Pesantren Sidogiri, juga semakin berkibar. Shodaqo Mart, yang di inisiasi oleh ACT (Aksi Cepat Tanggap), juga terus ekspansi di Jabodebek. Daqu-Mart, yang dimiliki PP Darul Qur’an juga terus menggeliat, dan seterusnya.

Demikian halnya, Koperasi Syariah 212, melalui jaringan ritel dengan brand KS 212 Mart, terus ekspansi dengan skema melalui kepemilikan oleh umat. Bahkan untuk di Jawa Timur KS 212, melakukan co-branding dengan Sakinah Mart, sehingga melahirkan gerai baru dengan identitas Sakinah-212 Mart. Demikian juga KitaMart, yang di inisiasi oleh Ust. Valentino Dinsi melalui Majelis Taklim Wira Usaha (www.mtw.or.id), terus melebarkan sayapnya. Banyak lagi jaringan ritel modern yang diinisiasi umat Islam, yang lahir dari wujud “perlawanan”  terhadap dominasi ritel modern yang di miliki oleh asing dan konglomerat aseng itu. Kehadiran ritel modern berbasis umat ini, semakin terus berkembang, dan akan menjadi pilihan umat. Demikian halnya, dengan adanya seruan untuk belanja di warung terdekat, juga memberikan dampak yang significant terhadap pola belanja umat.
Dari sini, saya melihat, sesungguhnya yang sedang terjadi adalah shifting to the muslim retail. Yaitu bergesernya pola belanja umat, menuju ke warung dan ritel modern muslim. Jika ini yang terjadi, maka sebuah anomali yang wajib kita syukuri dan dukung. Karena, diberbagai kesempatan dan momentum, umat islam selalu menjadi penyelamat. Termasuk senja kala ritel modern saat ini. Semoga kali ini, tidak menjadi pendorong mobil mogok. Setelah mobil bisa jalan, ditinggal. Lalu hanya diberi asap knalpot  yang pekat dan menyesakkan. Wallahu a’lam.

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.