Alasan klasiknya ialah bahwa itu bentuk kasih sayang orang tua terhadap anak, sehingga tidak tega melihat anaknya bersusah-susah sebagaimana ketika orangtuanya merintis usahanya dulu.
Ada sebuah nasihat inspiring dari salah satu pengusaha Muslim yang masuk dalam jajaran 50 orang terkaya di Indonesia. Petuah yang cukup bernas itu, disampaikan di dalam salah satu acara di Samarinda, yang kebetulan saya hadir di dalamnya. Nasihat ini, berawal dari keprihatinannya atas tidak berumur panjangnya perusahaan milik pribumi muslim, terutama bisnis keluarga (family business) yang rata-rata mati pada generasi ke-dua, beberapa saat setelah kematian perintisnya. Jarang yang sampai melewati generasi ke-3 dan seterusnya. Artinya generasi berikutnya –anak-cucu-cicit dari pendiri perusahaan- tidak mampu meneruskan usaha yang telah dirintis oleh orang tuanya itu. Hanya beberapa saja yang bisa terus bertahan, berkembang dan bahkan lebih sedikit lagi, yang usahanya jauh lebih baik dari era bapaknya masih mengelola perusahaan itu. Padahal menurut penelitian PwC, bahwa 96% bisnis di Indonesia adalah Family Business. Sementara 60% perusahaan terbuka di Asia Tenggara adalahh perusahaan keluarga, dan pewarisan kepemimpinan merupakan prioritas utama perusahaan. Sehingga kehadiranya, pasti memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi Nasional.
Mengapa ini semua terjadi di dalam? Ternyata banyak faktor yang menyebabkannya. Namun yang lebih besar adalah, orang tua sejak dini tidak menyiapkan dengan baik dan matang penggantinya. Semua dilakukan secara alamiah, tanpa perencanaan dan rekayasa yang matang. Tidak sejak dari dini, anak didik sebagai pengganti orang tuanya dalam mengelola perusahaan. Atau mungkin secara akademis anak disekolahkan di sekolah bisnis, bahkan yang terkenal di dunia sekalipun, namun anak berkembang dengan pelajaran dan ilmu bisnis yang di dapat dari kampusnya itu, bias jadi tidak inline dengan bisnis yang telah dirintis oleh orang tuanya. Namun lebih banyak lagi, sebuah kenyataan bahwa anak dimanja oleh fasilitas , sehingga merasa semua serba ada dan mudah di dapat. Alasan klasiknya ialah bahwa itu bentuk kasih sayang orang tua terhadap anak, sehingga tidak tega melihat anaknya bersusah-susah sebagaimana ketika orangtuanya merintis usahanya dulu. Akibat dari implementasi kasih sayang yang salah itu, bahkan tidak jarang menyebabkan anak tidak tertarik melanjutkan bisnis keluarga. Dan tidak sedikit, kemudian memilih profesi lain. Ini sebuah ironi yang terjadi.
Tantangan Family Busines
Menurut AB Susanto dari The Jakarta Consulting Group, terdapat sedikitnya tujuh mitos mengenai perusahaan keluarga. Pertama, yang paling sering terdengar adalah perusahaan keluarga tidak profesional. Pada kenyataannya profesionalitas perusahaan keluarga memiliki gradasi yang berbeda-beda. Kedua adalah tidak adanya pemisahan antara keuangan perusahaan dan keuangan pribadi. Ketiga, perusahaan keluarga dianggap tidak dapat menerapkan sistem dan prosedur yang sehat. Keempat, perusahaan keluarga hanya memberikan kesempatan untuk menduduki posisi kunci hanya kepada kerabat keluarga saja. Kelima, kinerja tidaklah penting, tetapi yang lebih penting adalah kemampuan membina hubungan yang dekat dengan pemilik. Keenam, perusahaan keluarga akan berakhir di tangan generasi kedua. Terakhir, perusahaan keluarga tidak memandang SDM sebagai aset perusahaan yang penting. Semua ini hanya akan menjadi mitos yang tidak benar dan tidak berlaku jika perusahaan keluarga dikelola secara bijaksana. Suksesi merupakan masalah perusahaan keluarga yang universal, sekaligus sangat kritis. Antara para perintis dan pewaris sering terjadi kesenjangan, dalam pandangan hidup dan berbagai hal lain.
Sedangkan laporan yang di buat oleh PWC dalam survey bisnis keluarga Indonesia yang dilakukan tahun 2014, mendapatkan data tentang tantangan bisnis keluarga sebagai berikut sebagai berikut :
Dari data di atas, memang mengidikasikan, bahwa tantangan ke depan family business cukup kompleks, dan ini pasti menjadi penghambat berkembangnya bisnis keluarga. Dari persaingan keluarga yang menempati tantangan utama dan kemudian perselisihan antar anggota keluarga yang menempati prosentasi minimal, adalah tantangan riil yang harus di cari solusinya. Jika tdak maka akan menambah deretan kalah bersaing dan kemudian mati.
Belajar menderita
Bukan untuk mengesampingkan data-data dan kenyataan kenyataan mitos dan tantangan di atas. Tapi berdasarkan pengalaman dan perenungannya, Pak Aksa Mahmud, menawarkan sebuah solusi sederhana. Yang berangkat dan berakar dari solusi yang dimulai dari internal keluarganya. Keberlangsungan sebuah perusahaan keluarga, sangat tergantung bagaimana mempersiapkan generasi pelanjutnya. Dan itu lebih baik dari anak-anaknya sendiri. Dan ternyata dimulai dari pendidikannya. Menurut beliau anak akan berhasil jika sejak dini dididik dalam kondisi menderita. Karena dengan kondisi penderitaan, maka anak anak lebih kreatif dan inovatif. Tantangan ini akan menstimulasi dirinya untuk keluar dari kondisi itu. Beliau mencontohkan, bahwa sejak SMP, anaknya sudah tidak boleh di rumah. Anak-anaknya dikirim ke kota lain, untuk melanjutkan sekolah. Tidak ada fasilitas mobil dan motor. Fasilitas hanya diberikan untuk menunjang pendidikan. Anak-anak harus kos, dan kemana-mana naik angkot.
Demikian juga ketika lepas SMA, anak-anaknya harus sekolah ke luar negeri. Kiriman uang hanya diberikan setiap 3 bulan sekali. Dan kiriman uang berikutnya hanya bisa diberikan ketika mampu menunjukkan nilai ujian. Jika tidak bisa menunjukkan nilai ujian yang di kirim via e-mail, maka tidak ada uang yang dikirim. Dampaknya, karena jauh di negeri orang, anak harus bertahan hidup, dia akhirnya mencari nafkah dengan kerja paruh waktu, untuk minimal biaya hidupnya sendiri.
Kemudian, setelah mereka kembali dari menempuh pendidikan di Luar Negeri, maka tidak bisa langsung menempati posisi tinggi di perusahaan groupnya. Namun, dia harus meragkak dari bawah, melewati posisi yang terendah di perusahaannya, di gilir dari satu bidang ke bidang lainnya, agar memiliki pengalaman yang utuh di semua bidang di perusahaan, sehingga jika nantinya menempati posisi strategis di perusahaan, maka sudah faham semua urusan di bawahnya, dan tidak bisa di bohongi oleh stafnya.
Dan dengan pola seperti itu, saat ini, beliau telah menyerahkan eksekutif perusahaannya di tangan putra-putri beliau, yang disesuaikan dengan kapasitas dan kompetensinya masing-masing, dan semuanya di didik dalam “pendidikan menderita” di atas. Selanjutnya, perusahaan terus berkembang, merambah ke berbagai sector industri.
Solusi sederhana di atas, sebenarnya bisa dimaknai bahwa dalam setiap mengembangkan bisnis apapun juga, baik yang baru di mulai, maupun yang sudah lama, harus di didik dan di rekayasa, dalam suasana yang terus memiliki energy untuk berjuang. Artinya fasilitas dan resources yang berlebih itu, bukan jaminan sukses sebuah perusahaan. Namun dengan merasa cukup, akan melahirkan inovasi dan kreatifitas, dan ini jelas menyebabkan dan mengantarkan perusahaan itu terus berkembang.