Update-lah blogmu setiap hari, walau itu hanya berupa cuplikan kata-kata mutiara @jamilazzaini
Tweet dari Jamil Azzaini sebagaimana saya kutip di atas, yang di jagad twitterland beliau bisaa dipanggil dengan julukan Kakek, ini cukup menginspirasi saya untuk selalu meluangkan waktu dalam nge-blog. Sementara, Kakek ini, adalah salah satu dari sekian orang yang selalu meng-update blognya setiap hari. Profesinya sebagai trainer dan seorang motivator, juga telah menghasilkan beberapa buku yang best seller, cukup mendukung untuk mengalirkan gagasannya dalam bentuk tulisan, Dan tulisannya yang ringan dan renyah itu baik yang dituangkan di buku maupun blog-nya, memudahkan pembacanya untuk memahami, tidak perlu mengernyitkan dahi atau memeras otak dan keringat untuk mengerti dan memahami apa maksud tulisannya. Meski kadang juga serius, tetapi tetap terasa ringan dan santai, karena kecakapannya dalam memilih diksi dan menyusun kalimat. Sesuatu yang cukup sulit buat saya. Dari isnpirasi itu, saya juga sudah berulang kali berniat untuk istiqomah dalam mengisi blog saya setiap hari, dan gagal maning-gagal maning. Dan bisa di tebak, lagi-lagi beribu alasan yang bisa dibuat untuk kemudian menyebabkan blog yang sudah ada dibiarkan statis tak terupdate alias tak terurus. Padahal sebagaimana ciri dari web 3.0, blog adalah salah satu media social, dengan ciri bisa memberikan komunikasi dua arah dan bahkan lebih, antara penulis (pemilik blog) dengan pembaca.
Disamping tweet dari Kakek tersebut, saya sempat juga berguru secara tidak langsung dan juga secara langsung kepada Prof. Imam Suprayogo. Mantan Purek UMM Malang dan Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang beberapa periode itu. Yang mengubah STAIN Malang berupa perguruan tinggi kecil dam tidak terkenal, menjadi UIN Malang yang kini cukup terkenal itu. Saya beruntung mendapat kesempatan ngaji langsung kepada Prof Imam, saat saya menjadi moderator dan beliau menjadi pembicara, dalam sebuah acara sarasehan pendidikan di Pondok Pesantren Hidayatullah Depok, tahun lalu. Dalam kesempatan itu, Saya sempat bertanya, bagaimana beliau bisa mendapatkan rekor muri atas tulisannya yang tidak putus sepanjang tahun, dan itu rutin dalam beberapa tahun. Dan saya bertanya lagi sudah berapa lama beliau nulis setiap hari seperti itu. Beliau menjawab sudah tujuh tahun, beliau selalu mengupdate blog nya setiap hari. Blog beliau di www.imamsuprayogo.com selalu ter update. Bahkan dari beberapa tulisan di blog tersebut, telah tercetak menjadi beberapa buku. Sebagaimana Kakek Jamil, ternyata tulisan Prof Imam ini juga ringan dan mudah dicerna. Beliau tidak menulis dengan ndakik-ndakik (tingi-tinggi), sehingga menyulitkan pembacanya. Mentang-mentang professor beliau tidak menulis hal yang rumit-rumit, sebagaimana adagium di Indonesia bahwa semakin sulit tulisan profesor dipahami, semakin menunjukkan kelasnya sebagai professor. Namun, beliau memang professor langka, beliau faham bahwa kaumnya (pembacanya) adalah orang-orang yang bukan semuanya professor seperti beliau. Namun mereka adalah orang awam kebanyakan, yang pengin melihat bagaimana ilmu yang di miliki oleh beliau turunkan, menjadi terapan yang aplikatif di lapangan. Dan jika kita baca tulisan beliau, hampir semuanya seperti itu. Hal-hal dan permasalahan yang nampak besar dan sulit itu, bisa di uraikan secara sederhana, sehingga mudah di pahami oleh pembacanya. Saya rasa ini salah satu dari kelebihan dari Doktor Sosiologi Unair ini.
Hanya butuh enjoy ½ Jam
Dari 2 tokoh ini saya mendapatkan tip yang cukup sederhana saja. Bahwa untuk membuat tulisan di blog tidak butuh waktu lama. Luangkan waktu ½ jam setiap hari untuk menuliskan apa saja di blog kita. Prof Imam bilang kalau beliau sering menulis pagi hari setelah selesai sholat subuh dan mengaji, sebelum melakukan aktifitas lainnya. Jangan terperangkap dalam frame tertentu. Jangan takut bahwa tulisan kita jelek, kemudian tidak ada yang membacanya. Tapi manfaatkan bahwa ngeblog adalah bagian dari rekreasi, gagasan yang mungkin ringan buat kita, di share saja buat orang lain, bisa jadi itu akan bermanfaat dan menjadi solusi buat orang lain, jadi bikin enjoy saja. Asalkan tidak berupa fitnah, makian, dan hal-hal yang melanggar etika, ketentuan hukum, maka tuliskan saja. Jika kita terpenjara dalam sebuah frame tertentu, maka bisa jadi kita juga akan terjebak untuk menuliskan sesuatu itu yang sedemikian rigid, sebagaimana tututa dalam membuat tulisan ilmiah. Dan pada gilirannya, tulisan itu tidak pernah jadi.
Bahkan sekelas Prof Imam Suprayogo menyampaikan bahwa, beliau dalam menulis mengalir saja. Seringkali tidak pernah mengedit terlebih dulu. Selesai tulisan dibuat, langsung di unggah (diupload) di blognya. Nanti baru ketahuan setelah di upload ada yang baca dan kemudian comment atas beberapa kesalahan. Mungkin typo, salah EYD dan lain sebagainya. Baru di edit dan diperbaiki. Bagi beliau menulis menjadi kebutuhan pokok. Gatal rasanya kalo tidak menulis dalam satu hari, begitu katanya. Ternyata seringkali gagasan yang muncul dari tulisan itu lebih banyak dari pengalaman pribadi, melihat kejadian di sekitar, membaca koran, menonton tivi dan lain sebagainya. Pendeknya, sumber tulisan itu ada disekitar kita. Persoalannya berada di diri kita sendiri, bisa mengoptimalkan apa yang kita baca, kita lihat dan kita dengar atau tidak.
Budaya Baca dan Tulis
Prof Imam, menyampaikan bahwa salah satu kelemahan dari bangsa ini adalah lemahnya budaya baca dan menulis. Tidak hanya menjangkit kepada masyarakat biasa, tetapi akademisi pun juga cukup lemah di dua persoalan ini. Bagi alademisi ukurannya adalah berapa publikasi ilmiah yang di hasilkan. Makanya jangan heran jika produk tulisan akademisi kita di jurnal-jurnal terakreditasi baik nasional maupun internasional cukup memprihatinkan. Dari data yang di himpun oleh http://www.scimagojr.com/countryrank.php, maka nampak bahwa ranking Indonesia hanya berada pada urutan ke 61 dari 239 negara yang terdata. Bandingkan dengan Negara ASEAN lainnya missal Singapore 32, Malaysia 37 dan Thailand 43, sedang Negara ASEAN lain mash di bawah kita. Tidak usahlah kita membandingkan dengan Amerika, China, Jepang, Jerman dll. Dari data tersebut, maka muncul pertanyaan, bagaimana seseorang akademisi bisa menulis dengan baik, jika dia tidak pernah mendapat asupan berupa membaca buku-buku bacaan maupun jurnal yang baik dan bermutu juga? Pertanyaan retorik yang tidak perlu di jawab, sebab kita semua sudah tahu jawabannya.
Apapun alasannya, pernyataan Prof Imam tersebut, sekali lagi bukan tanpa dasar. Dari berbagai hasil penelitian memang membuktikan bahwa budaya baca dan tulis di negeri ini masih rendah. Dari 65 negara yang di teliti, Indonesia berada pada peringkat 60 dan masih dibawah Malaysia. Kemudian, rata-rata penduduk Indonesia hanya membaca 4 judul buku setahun dan masih jauh dari standar UNESCO yaitu 7 judul buku dalam setahun. (Kompas, Sabtu 24 Mei 2014). Dari data-data di atas, baik rendahnya publikasi ilmiah para akademisi dan rendahnya budaya baca dan tulis di negeri ini, tidak perlu di kutuk dan di sesali, tetapi kitalah yang harus menjawabnya. Pertanyaan sederhana yang kita ajukan kepada diri kita sendiri, berapa buku yang kita baca bulan ini, tahun ini dan seterusnya. Berapa tulisan ringan di blog maupun tulisan ilmiah yang kita hasilkan. Adakah perpustakaan di rumah kita? Mungkin kita beralasan kini eranya paperless jadi nggak butuh baca buku, tetapi jangan sampai itu hanya sebuah pembelaan bagi kita bahwa kita pun ternyata hanya menjadi bagian dan pemberi kontribusi dari rendahnya peringkat baca negeri ini.
Akhirnya apapun profesi yang ada di diri kita, mari kita terus membaca dan menulis. Di era media social seperti sekarang ini, “buku” dan “papan tulis” tersedia dimana-mana, bahkan ada digenggaman tangan kita. Mari kita pakai untuk menuangkan gagasan, walau hanya berupa kalimat sederhana dan ringan. Bukan tempat untuk nyampah dan sumpah serapah. Dan selanjutnya, kita menuntut diri kita sendiri untuk istiqomah dan konsisten. Sebab dengan konsistensi ini, kita akan “memaksa” diri kita untuk selalu berbagi, kendati hanya mengutip kata-kata mutiara di blog kita.