Tahun 2014 sebentar lagi akan berakhir, dan tahun 2015 mau tidak mau akan datang menjelang. Bagi entrepreneur tentu, ini merupakan tantangan tersendiri. Meski, seorang entrepreneur itu, sejatinya, hari-harinya adalah tantangan. Sebab, banyak buku dan pembicara menyampaikan bahwa menjadi seorang entrepreneur itu adalah sebuah pilihan. Oleh karenanya tidak sedikit kemudian orang yang “terpilih” menjadi entrepreneur. Bahkan, seorang pakar dari Amerika bernama David Mc Cleland, yang pendapatnya sering di kutip, di berbagai tempat, waktu dan kesempatan, menyatakan bahwa,”Sebuah negara akan makmur, jika jumlah entrepreneurnya minimal 2% dari total populasi dari sebuah Negara. Sebuah angka, yang mungkin kelihatan kecil, namun dengan jumlah penduduk yang mendekati angka 250 juta jiwa, artinya negeri ini membutuhkan sekitar 5 juta entrepreneur, yang akan mendongkrak Negara ini menjadi negeri yang makmur.
Pertanyaannya kemudian adalah, berapa sih jumlah entrepreneur di Indonesia? Sebagaimana kebiasaan di Indonesia, tentu jawabannya berbeda-beda, masih simpang siur, tergantung siapa pembuat datanya. Misalnya, pada tahun 2009, dalam sebuah tulisan di Kompas dan bukunya, Ir. Ciputra menyampaikan bahwa jumlah Entrepreneur di Indonesia berjumlah 0,18% dari populasi penduduk. Namun Kementrian UMKM, menyampaikan data, bahwa di tahun 2013, jumlah entrepreneur kita berjumlah 1,6 % dari jumlah penduduk. Dan dari informasi berbeda jumlah UMKM di Indonesia menurut data BPS, pada tahun 2012 saja jumlah UMKM di Indonesia lebih dari 56 juta UMKM, artinya lebih dari 20% dari jumlah penduduk Indonesia. Sebuah jumlah yang fantastis. Bila dengan jumlah 20% lebih dari populasi UMKM, tetapi kenyataannya Indonesia masih belum makmur, maka bisa jadi karena adanya perbedaan difinisi antara entrepreneur dan UMKM. Dari data di atas, bisa jadi ketiga data tersebut, ada salah satu yang benar, atau tidak benar semuanya. Namun saya ajak kita untuk tidak terjebak dari data tersebut, tetapi kita berangkat menuju ke akar permasalahannya, negeri ini masih belum makmur dan bagaimana menciptakan dan melahirkan entrepreneur yang handal, di tengah ketatnya kompetisi yang sedang dan terus berlangsung.
Susahnya memulai usaha.
Meski, perbincangan tentang tesis dari Mc Cleland itu, banyak di bicarakan di berbagai kesempatan dan juga ramai media sosial, ternyata tidak dengan sendirinya diikuti oleh regulasi negeri ini, yang mengarah kesitu. Saya-pun sadar, bahwa entrepereneur yang handal itu, tidak lahir dari berbagai fasilitas dan kemudahan. Akan tetapi, jika melihat persaingan kedepan, maka fasilitas dan kemudahan ini, harus berada dalam satu tarikan nafas dengan kompetisi yang akan di hadapi. Bukan dalam artian memanjakan, namun lebih dari itu, menciptakan gelanggang bagi entrepreneur handal dan petarung itu lah kata kincinya.
Adalah www.doingbusiness.org , yang selalu update untuk membuat peringkat bagaimana menjalankan bisnis di suatu Negara, dalam sebuah laporannya yang dikeluarkan pada bulan Oktober 2014 kemarin menempatkan Indonesia berada pada peringkat ke 114 dari 189 negara yang di nilai. Ini naik 3 peringkat dari tahun 2014, yang sebelumnya berada pada peringkat ke- 117. Sebagaimana diketahui, pemeringkatan ini, dilihat dari berbagai sisi dan indikator. Doingbusiness.org adalah sebuah lembaga yang berada di bawah Bank Dunia, yang menyajikan penilaian dari berbagai indikator menjalankan usaha, dari seluruh dunia. Secara periodik, peringkat doing business, dari berbagai Negara Asean itu di sajikan disini. (www.doingbusiness.org/rankings)
Tabel di atas, merupakan gambaran dari dinamika peringkat menjalankan bisnis Negara-negara di Asia Tenggara. Sebuah gambaran yang dinamis, bagaimana masing-masing negara yang di nilai tentang bagaimana menjalankan bisnis di negaranya. Ada yang bertahan, ada yang naik dan ada yang turun. Saya fokus membandingkan peringkat Indonesia di bandingkan dengan Negara ASEAN. Sebab tahun 2015 nanti salah satu issue penting yang di hadapi oleh Negara ini adalah Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), dimana persaingan bebas dan ketat akan terjadi di situ. Pertarungan antar Negara ASEAN akan terjadi di berbagai sektor, dan tentu saja, ekonomi dengan berbagai dimensinya, termasuk bagaimana kemudahan dalam membangun (mendirikan dan menjalankan) sebuah bisnis, akan menjadi tolok ukur kesiapan sebuah negara dalam menghadapi persaingan itu.
Indonesia di antara Negara ASEAN saja menempati peringkat ke-7. Ini merupakan PR besar, bukan hanya buat pemerintah, tetapi juga pebisnis dan calon pelaku bisnis. Bagi pemerintah tentu, menciptakan iklim bisnis yang kondusif dengan memberikan kemudahan bagi setiap warga Negara untuk memulai bisnis, tanpa proses panjang, bertele-tele dan berbiaya mahal, yang secara tidak langsung akan melahirkan high cost economy, adalah sebuah keharusan. Negara tidak bias lagi berwacana. Mempersiapkan infrastruktur, baik jalan raya, listrik, telekomunikasi dan lain sebaginya, sudah menjadi sebuah keniscayaan. Termasuk bagaimana kemudahan ijin, pemdaftaran property, mendapatkan kredit, pembayaran pajak, pemenuhan kontrak dan lain sebagainya. Jika Indonesia kalah di banding dengan Singapore, Brunei dan Malaysia -meskipun seharusnya hal itu tidak perlu terjadi-, kita masih memaklumi, karena secara ukuran (size economy-nya) Negara itu tidak apple to apple jika di bandingkan dengan Indonesia. Sehingga wajar jika persoalan di atas mereka lebih unggul dari Indonesia. Namun jika dengan Vietnam saja, negeri ini kalah, saya rasa ini adalah tamparan berat, yang tidak bias di pandang sebelah mata.
Selain hal itu merupakan PR besar bagi pemerintah, bagi pelaku bisnis, ini juga merupakan tantangan untuk terus meningkatkan competitiveness sehingga mampu bersaing dengan Negara-negara ASEAN. Pelaku bisnis, sudah mulai berfikir bahkan melangkah untuk melakukan ekspansi ke Negara-negara ASEAN itu. Selain tentu saja memperkuat bisnisnya di dalam negeri. Sedangkan bagi calon pebisnis, ini merupakan tantangan tersendiri. Untuk memulai bisnis saja banyak orang mengalami banyak hambatan dan merasa susah, apalagi bagaimana memulai bisnis Indonesia yang memang sangat susah itu. Namun, ini sekali lagi bukan halangan untuk memulai. Lakukan saja, dan sambil kita beri masukan kepada Negara, sisi-sisi mana yang harus diperbaiki. Ekspektasi publik terhadap pemerintahan ini yang terlalu tinggi, bisa jadi boomerang, jika tidak melihat fakta sesungguhnya. Data-data yang tersaji disinilah yang berbicara, bahwa sejatinya negeri ini masih belum ramah dengan pebisnis negeri sendiri.
Berbenah atau Kalah
Lalu dengan peringkat ke-114 dunia dan ke-7 ASEAN dalam menjalankan bisnis itu sesungguhnya seperti apakah kemudahan melakukan bisnis di Indonesia. Secara terperinci dapat dilihat sebagai berikut :
Kita masih bersyukur, dari data di atas peringkat Indonesia mengalami kenaikan 3 point. Dan kenaikan itu sesungguhnya di dongkrak secara significant oleh ketersediaan listrik, dari 101 ke 78, naik 23 point. Meskipun kita masih sering mendengar byar-pet nya listrik PLN ternyata, dalam kaca mata world bank, masih mampu mengalami peningkatan yang baik. Selain itu memulai bisnis juga mengalami peningkatan 3 point. Selebihnya hampir semua kriteria yang dinilai memperoleh nilai merah, alias turun.
Meskipun beberapa indikator mengalami kenaikan, namun jika di breakdown, ternyata kita masih tertinggal dari Negara ASEAN lainnya. Jika kita ambil salah satu indikator saja, misalnya dalam memulai bisnis, maka kita bisa menilai posisi Negara kita saat ini. Dalam memulai bisnis ini, Singapura tetap Negara yang business darling, dimana dalam memulai bisnis cukup dengan 3 prosedur dan waktu yang dibutuhkan hanya 2,5 hari, perusahaan sudah jadi dan siap operasi. Di Malaysia ada 3 prosedur yang harus di jalani juga, tetapi waktu yang di butuhkan adalah 5,5 hari. Vietnam memiliki prosedur yang banyak yaitu 10, dan waktu yang di butuhkan adalah 34 hari. Sedangkan Indonesia ada 10 prosedur juga, namun waktu yang di butuhkan 52,5 hari.
Nah dari satu indikator itu saja, betapa kita masih tertinggal jauh dari Negara-negara ASEAN. Tentu jika menyangkut soal prosedur, ijin dan lain sebagainya, ini kaitannya dengan birokrasi. Maka reformasi birokrasi tidak bisa hanya sebatar wacana, harus segera di lakukan. Bukan hanya pencintraan melarang pejabat public dan PNS melakukan rapat di hotel berbintang, itu hanya masalah kecil, tapi benahi benar birokasi kita biar bisa berkompetisi dengan Negara ASEAN.
Ini sudah di ujung tahun 2014. Pemerintah baru saja bekerja. Tetapi fakta di atas adalah sebuah kenyataan yang tak terbantahkan, bahwa Negara ini masih belum bersahabat dengan pengusaha. Background Presiden dan Wakil Presiden yang entrepreneur, seharusnya faham persoalan ini semua. Jika Negara ini ingin mememangkan kompetisi, selain pendidikan tentunya, maka benahi prosedur dalam memulai berbisnis. Jika tidak, maka lambat atau cepat, Negara ini akan di caplok oleh Asing. Dan kita akan menjadi penonton, bahkan budak di negeri sendiri. Maka, kata mujarabnya adalah, jika mau memenangkan persaingan, kita harus bertekad,”berbenah atau kalah.”