Sebagai sebuah organinasi, maka perusahaan tak ubahnya laksana sebuah organisme, yang membutuhkan makanan untuk melangsungkan kehidupannya, tumbuh dan berkembang. Dalam masa tumbuh dan berkembang itu, tidak sedikit perusahaan yang kemudian menderita ‘penyakit”. Bila sejak dini terdeteksi “penyakit” nya dan kemudian bisa disembuhkan, maka selamatlah perusahaan itu. Akan tetapi, acapkali perusahaan sakit yang sudah/belum diketarahui penyakitnya, dan tidak bisa disembuhkan, kemudian mati dalam usia muda. Layu sebelum berkembang. Namun tidak sedikit, perusahaan yang kelihatannya sehat dan tumbuh serta berkembang dengan baik, akan tetapi ternyata rapuh, ketika ada gejolak sedikit, akhirnya tumbang juga. Dan kemudian gulung tikar.
Fakta tersebut, memaksa perusahaan harus senantiasa merasa ‘was-was’ atas keberlangsungan hidupnya. Memang ini tidak gampang, tetapi bisa dilakukan. Ternyata beberapa imunitas agar perusahaan tahan terhadap kematian dini itu adalah kombinasi antara konstruksi modal, asset dan daya saing strategis untuk mencapai laba di atas rata-rata. Ini harus menjadi prioritas. Bahkan menurut Andrew Groove, mantan direktur Intel, dia sempat mengamatai dan kemudian berpendapat bahwa hanya perusahaan-perusahaan “paranoid” yang dapat bertahan dan berhasil. Hal ini senada dengan pendapat Thomas J. Watson, mantan Dirut IBM, yang memperingatkan,”perusahaan adalah sesuatu yang memerlukan biaya dan keberhasilannya adalah suatu pencapaian yang bersifat sementara, yang setiap saat dapat lolos dari tangan.” Intinya, tidak pernah ada perusahaan yang aman 100% dan sehat sehingga terbebas dari ancaman kematian, akan tetapi juga tidak harus menjadikan ketakutan untuk melangkah. Justru karena kita tahu bahwa, tidak ada perusahaan yang 100% aman dari kematian itulah, yang meneyebabkan kita tidak boleh berhenti. Harus terus melangkah dan bergerak. Sebab yang membedakan mati dan hidup, minimal adalah ketika kita masih bisa bergerak.
Umur Perusahaan
Saya baru saja mengucapkan selamat atas usia 5 tahun perusahaan seorang kawan. Saya sendiri membangun perusahaan, Totalindo, dengan seluruh dinamika, pasang surut yang ada didalamnya, tahun ini memasuki usia ke-13 tahun. Saya dan mungkin Anda juga melihat disekitar kita, teman-teman, saudara ataupun partner kita yang perusahaan tahan sudah puluhan tahun, dan tetap tumbuh serta sehat sampai sekarang. Akan tetapi juga tidak sedikit kita melihat, teman kita yang hampir setiap tahun mendirikan perusahaan. Sayangnya di Indonesia belum ada data yang menggambarkan usia hidup sebuah perusahaan. Sehingga kita bisa melihat, sebenarnya rerata umur perusahaan di Indonesai itu seperti apa.
Adalah Small Business Administration (http://www.sba.gov/), semacam lembaga bantuan bisnis untuk usage kecil di negeri Paman Syam yang dengan telaten melakukan pencatatan atas usia perusahaan yang lahir, tumbuh, besar dan mati disana. Teryata data yang di himpun oleh SBA, atas perusahaan yang didirikan pada tahun 1998, secara garis besar, rata-rata kurang dari 40 %, perusahaan di USA, yang mampu bertahan hidup lebih dari 5 tahun. Dari data ini, ternyata jika perusahaan kawan saya tadi, berdiri di Amrik sono, dan memakai tabel atas keberlangsungan hidup sebuah perusahaan, akan menjadi bagian dari kurang dari 40% yang masih bertahan hidup itu. Ini artinya, sebuah prestasi tersendiri. Disisi lain menunjukkan bahwa peranan majanemen strategis (dengan factor konstruksi modal, asset dan daya saing strategis), harus benar-benar menguatkan komitmen-nya terhadap keberlangsungan hidup perusahaan.
SBA mengeluarkan data tigkat bertahan perusahaan dari berbagai bidang usahanya, dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 1. Tingkat bertahan Hidup Perusahaan di Amerika Serikat yang didirkan tahun 1998
Dari tabel di atas, ternyata pada tahun ke-7, rata-rata hanya 31,18% dari seluruh perusahaan dan berbagai jenis bidang usaha itu, yang masih bisa bertahan hidup. Selebihnya mati. Adalah fakta yang menunjukkan, bahwa kendati di USA bermunculan perusahaan dot.com, alias perusahaan berbasis IT (Information Technology) dengan segenap kisah sukses yang selalu menjadi jargonnya, ternyata hanya 24,78 % yang masih bisa bertahan hidup di usia 7 tahun. Sedangkan 75,22% dari perusahaan berbasis IT itu, tidak berlanjut lagi. Dan ini juga menegaskan bahwa ternyata perusahaan berbasis IT ini, umurnya paling pendek. Tingkat kematiannya lebih cepat jika disbanding dengan bidang usaha lainnya. Sedangkan perusahaan yang berbasis health services (layanan kesehatan), ternyat memiliki tingkat survival yang tinggi, yaitu 45,71 % setelah menginjak tahun ke- tujuh.
Negara Absen
Data di atas, dapat dipergunakan sebagai benchmarking, untuk melihat perusahaan mana yang umurnya relative panjang, dan perusahaan bidang usaha apa yang umurnya pendek, dan bisnis di bidang apa kira-kira yang memiliki peluang hidup yang panjang. SBA, sebagai sebuah lembaga bentukan Negara, nampaknya cukup membantu bagi usaha kecil dan juga start-up yang ingin mendirikan sekaligus mengembangkan usahanya. Sehingga setiap calon entrepreneur/technopreneur, sebelum memulai sebuah usaha, sudah memiliki dulu data-data dan informasi, berkenaan dengan rencana bisnisnya ke depan.
Entrepreneur dan technopreneur di negeri ini, memang petarung yang luar biasa. Mereka tetap bisa lahir, tumbuh dan hidup di tengah ketidakjelasan. Bahkan mereka bisa mati berkali-kali, dan kemudian hidup berkali-kali pula. Tanpa ada data informasi yang mendukungnya, mereka tetap melaju. Saya belum melihat ada institusi yang kemudian menyajikan data yang komprehenship dan valid berkenaan dengan data/informasi sebagaimana yang di keluarkan oleh SBA itu. Jika kita googling, kalau toh ketemu data yang tersajikan, satu institusi dengan institusi lain, saling tidak nyambung. Bahkan tidak sedikit yang saling menegasikan. Inilah tantangan kita. Apapun yang terjadi kitalah yang bertanggung jawab atas keberlangsungan hidup perusahaan kita. Bukan orang lain, juga bukan Negara ini. Sebab, ternyata negara sering tidak hadir, bahkan untuk membangun entrenpreneur dan teknopreneur di negeri ini. Pertanyaanya, “Masihkah kita butuh Negara ?
1 thought on “Keberlangsungan Hidup Perusahaan”