Awal pekan lalu, Google Inc, mengumumkan akuisisi resmi Waze. Melalui Wakil Presiden Google Geo, Brian Mc Clendon, di blog nya kemarin, secara resmi proses akuisisinya itu di umumkan. Waze, adalah jejaring sosial berbasiskan peta, yang merupakan solusi pintar menghindari untuk menghindari kemacetan. Konon, Google setelah membeli Waze akan mengintegrasikan dengan Google Maps, dan ternyata memberikan kesempatan untuk pengembangan produknya tetap berada di negara penjajah, Israel itu.
Nilai akuisisi Waze disebutkan sebesar US$ 1,3 Miliar, atas jejaring sosial bikinan negeri zionis ini. Dengan nilai 1 dollar US yang sekarang terus bergerak ke arah Rp.10.000,- maka akan didapatkan dana senilai 13 Trilyun rupiah. Sebuah angka yang cukup fantastis, mengingat Waze Mobile Inc. didirikan pada tahun 2008 silam. Jadi hanya dalam waktu 5 (lima) tahun, bisa mencapai nilai sebesar itu. Pencetus aplikasi ini adalah Uri Levine, Ehud Shabtai, dan Amir Shinar. Hingga akhir 2011, Waze hanya memiliki karyawan sebanyak 80 orang. Sebanyak 70 orang karyawan berkantor di Israel dan sisanya di Palo Alto, California, AS.
Saat ini users Waze terus bergerak mendekati angka 50 juta. Sayapun telah menginstall, aplikasi ini di tab saya. Secara teknis cukup membantu, dalam mengatasai kemacetan seperti di Jakarta. Meskipun, ada kemungkinan tipu-tipu juga bagi sebagian users untuk memberikan informasi, atas kemacetan di sebuah tempat. Akan tetapi secara umum, memang Waze cukup membantu dalam menghindari kemacetan. Padahal, ada juga produk local, yang meskipun tidak sama, tetapi menyerupai dengan Waze, yaitu lewatmana.com. Tetapi, masih belum menjadi pilihan sebagai aplikasi membantu menghindar dari kemacetan.
Tantangan Kita
Berkali-kali kita disesaki dengan berita semacam ini. Perusahaan start up, yang kemudian dengan produk dan solusinya yang nampaknya sederhana dan unik, akhirnya di akuisisi dengan nilai yang cukup fantastis. Dan lagi-lagi kita hanya jadi pembaca setia dan penonton saja. Meskipun sejatinya, saya yakin dan melihat sendiri, banyak ide dan karya anak negeri ini yang bisa jadi, lebih baik dari Waze dan sejenisnya. Dalam beberapa ajang dan kompetisi ICT, selalu muncul solusi yang sebenarnya luar biasa, bahkan bisa jadi lebih hebat dari Waze tersebut. Tetapi sayang, ide-ide brilliant itu, tidak sampai kepada industrialisasi, dan akhirnya layu sebelum berkembang. Ini PR besar bagi kita.
Meskipun jika kita korek-korek lebih detail, kita juga masih menemukan hebatnya karya anak bangsa ini. Kendati tidak sefantastis apa yang dihasilkan oleh start-up negara-negara maju itu. Mungkin salah satu kisah sukses, yang terjadi atas produk anak negeri ini adalah tatkala Koprol di akusisi oleh Yahoo, Inc tahun 2010 silam. Dan sayangnya tidak berumur panjang. Saya tidak tahu alasan pastinya apa, kemudian dimatikan oleh Yahoo, di awal tahun lalu.
Fakta tersebut di atas sesungguhnya menjadi tantangan dan tamparan bagi technopreneur Indonesia, tentu saja, termasuk saya. Kita cukup canggih dalam technical. Artinya ide yang turun dalam tataran teknis, dan kemudian bergerak jadi produk, saya yakin cukup bisa di adu. Tetapi, ketika mengeksekusi dari produk tersebut di monetize, seringkali melahirkan kegagapan. Seringkali kita untuk melahirkan produk, mengalir begitu saja. Biasanya malah hanya untuk coba-coba dan hebat-hebatan, bahwa secara technical memiliki kemampuan. Sehingga ketika menghasilkan produk, kita puas sampai disitu saja, dan bingung bagaimana bisa “menguangkan” produk kita itu.
Menjawab tantangan
Saya meyakini, bahwa secanggih dan sebaik apapun sebuah produk, jika tidak mampu di jual atau di terima di pasar, maka akan menjadi produk gagal juga. Untuk mengatasi hal ini, maka kita perlu untuk membua keluar. Sehingga kita juga perlu melihat cara orang-orang sukses meraih kesuksesannya. Sedangkan jalan suksesnya kita bisa menentukan dan membuat jalan sukses sendiri.
Menyadari hal ini, kedepan tantangannya adalah bagaimana produk kita bisa laku dan diterima pasar, memiliki standarisasi dan juga roadmap ke depan yang jelas. Konsekwensinya adalah, harus mengubah mind-set untuk dari mentalitas inlander menjadi leader. Juga, jangan terlalu bangga “hanya” dengan memiliki kemampuan technical yang lebih baik dari yang lain. Kemampuan teknis memang perlu dimiliki tetapi itu bukan segaralantya. Masih banyak parameter lain yang akan mendukung keberhasilan sebuah produk.
Dari kenyataan di atas, maka pengembangan technopreneur kedepan, harus berani menerobos pakem yang ada. Yaitu dengan menghadirkan produk-produk yang berkualitas, sekaligus membuat semacam roadmap, atas produk yang akan kita develop. Jangan cepat putus asa, jika produk kita masih belum diterima di pasar. Gali dan cari, kekuarangan apa yang ada pada produk kita. Jangan alegi untuk di kritik. Sepintar dan sehebat apapun kita, selalu saja ada sisi lemahnya. Dan biasanya sisi lemah kita itu, justru orang lain yang tahu. Biar lah kawan-kawan kita, memberi masukan dan mengisi ruang yang kita ada kekuarangan disitu. Nggak usah sok jagoan. Selanjutnya, jangan segan-segan menerapkan strategi ATM (amati, tiru, modifikasi). Saya seringkali menemukan kekurangan yang saya lakukan justru ada pada produk orang lain. Meniru bukan berarti menjiplak langsung, tetapi harus juga dilakukan modifikasi, sehingga menjadi lebih baik, dan seterusnya.
Pendeknya, dengan strategi, cara pandang dan keterbukaan yang kita miliki, maka Insya Allah, produk-produk Indonesia akan membanjiri pasar dunia. Bukan sebaliknya.