Pagi ini, 11/04/2013, Koran Kontan, di halaman 2 memuat berita dengan judul : “Biaya R & D Bisa Menjadi Pengurang Pajak”. Ini meriupakan berita gembira dan sebuah kemajuan dari pemerintah, terutama bagi perusahaan yang memang bekerja di Bidang Inovasi dan Teknologi. Kepala BKPM, Chatib Basri, mengusulkan kepada pemerintah agar memberikan insentif dengan menjadikan biaya riset dan pengembangan menjadi biaya yang mengurangi laba, dalam sebuah perusahaan. Sehingga, dengan demikian beban pajak akan berkurang. Dijelaskan lagi bahwa, saat ini perusahaan di Indonesia, rata-rata enggan menyelenggarakan pelatihan atau training, karena butuh biaya yang besar. Padahal kegiatan ini penting agar perusahaan tetap mampu bertahan hidup dalam jangka waktu yang panjang karena mampu terus melakukan inovasi. Apalagi, jika terkait dengan R & D, maka masih jauh panggang dari api.
Dari penjelasan Bung Dede itu, -begitu bisanya Kepala BKPM itu di panggil-, dapat menjadi semacam cermin bagi kita, bahwa selain kegamangan melakukan R & D karena selain masih belum tentu jelas hasilnya, juga tidak ada dukungan yang berarti dari pemerintah. Akibatnya, mentalitas yang terjadi pada pelaku usaha, lebih senang menjadi trader, dengan menjadi reseller ataupun agen dari produk-produk yang di hasilkan oleh negara lain. Karena, mungkin tidak mau terlalu repot-repot mengeluarkan biaya dengan tingkat ketidak pastian yang tinggi. Dan dengan menjadi trader, maka bisa diperoleh hitungan yang cepat, biaya kulakan di tambah biaya operasionalnya yang kemudian dikalkulasi menjadi HPP (Harga Pokok Produksi), dengan mudah bisa dihitung, dan ditambah margin secukupya, maka akan gampang diperoleh hitungan untung/ruginya. Mindset seperti ini, rata-rata yang kemudian menjadikan negeri ini, menjadi lemah dalam konteks persaingan global. Dan pada gilirannya, kita menjadi pasar yang sangat empuk dan mengairahkan bagi produsen dari luar.
Antara Political Will dan Sikap Mental Peneliti
Hampir dipastikan, tidak ada sebuah negara termasuk perusahaan di dalamnya,yang bisa maju R & D nya jika tidak ada dukungan dari pemerintah, baik berupa regulasi yang mempermudah dan berpihak kepada perusahaan, maupun berupa kebijakan lain, yang membuat iklim inovasi perusahaan menjadi semakin kompetitif. Kemampuan melakukan inovasi melalui R & D, selain dipengaruhi oleh sikap mental penduduk suatu bangsa itu sendiri -yang direpresentasikan dengan perilaku researcher nya-, juga sangat di tentukan oleh sejauh mana negara memberikan stimulan bagi para penggiat bidang R & D.
Hal ini di buktikan dengan realitas penelitian yang terjadi di Indonesia, sebagaimana di muat di Harian Kompas 2/1/2012. Ahmad Dading Gunadi, Asisten Deputi Relevansi Program Riset Iptek, Kementerian Riset dan Teknologi (Kementerian Ristek), memaparkan, jumlah publikasi Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan negara lain di Asia, khususnya dengan Jepang, China, Korea Selatan, dan India. Mengutip data Pusat Penelitian Perkembangan Iptek Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Pappiptek-LIPI), Dading menjelaskan, dalam kurun waktu 2001-2010, lembaga penelitian dan pengembangan di Korea Selatan, KAIST, menghasilkan jumlah publikasi internasional terbesar, yaitu 20.183 publikasi. Lalu, diikuti lembaga JST Jepang (13.604) dan CSIRO Australia (11.611). ”LIPI memiliki 417 publikasi ilmiah,” kata Dading di Jakarta, Sabtu (5/1/2012). Jumlah publikasi itu bahkan juga lebih rendah dibandingkan dengan negara ASEAN, seperti Singapura, Thailand, dan Malaysia. Selama kurun waktu yang sama, total publikasi nasional dan internasional dari tiga negara tetangga tersebut di atas 30.000, sedangkan Indonesia hanya menghasilkan total publikasi 7.843 atau 25 persennya. Demikian juga halnya yang terjadi dengan permintaan paten, yang biasanya terkait langsung dengan hasil penelitian. Masih sangat kecil, baik yang mengajukan ke HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual) apalagi yang mengajukan ke United States Patent and Trademark Office (USPTO) masih sangat kecil.
Antara Insentif Peneliti dan Insentif Pajak
Kementrian Riset dan Teknologi, sejak tahun 2007 telah menggelar Insentif Riset Sistem Inovasi Nasional. Sesaat setelah di gelar program ini ada peningkatan minat dalam pengajuan proposal, tetapi hanya setahun berjalan kemudian justru cenderung menurun. Hal ini menurut data dari RISTEK disebutkan bahwa proposal insentif riset bidang pangan dan obat-obatan pada tahun 2008, masing-masing 187 dan 108. Tahun 2012, menjadi 83 dan 33 proposal. Sementara itu, proposal riset dari 9 bidang fokus iptek pada tahun 2010 tercatat 347 proposal. Namun, pada tahun 2012 hanya 285 proposal, yang berasal dari 78 lembaga riset. Menurut Dading, tahun lalu Kementerian Ristek telah memberikan pendanaan riset Rp 90 miliar untuk pelaksanaan sejumlah proposal riset tersebut.
Disisi lain, menurut Menteri Keuangan Agus Martowijoyo, bahwa penerapan penelitian dan pengembangan menjadi pengurang pajak sudah dilakukan, tetapi menurut dia karena masih kurangnya sosialisasi dari Ditjen Pajak, sehingga banyak pengusaha yang tidak tahu. Dilain pihak, Chatib Basri pun bilang bahwa, aturan ini sejatinya sudah tertuang dalam ketentuan umum perpajakan, tetapi implementasinya sulit,” Saya melihat intervensi pemerintah (dalam industrial policy) kurang, “ tuturnya.
Dari uraian tersebut, sesungguhnya polical will pemerintah sudah ada. Tetapi yang menjadi problem adalah, sejauh mana ia mampu mengerek keinginan para peneliti untuk melakukan riset, dan kemudian risetnya itu bisa di publikasikan atau di patenkan. Nampaknya ada satu aspek yang mengganjal, yaitu faktor eksekusi. Sedangkan eksekusi tidak bisa berjalan dengan baik, karena dipengaruhi oleh kurangnya sosialisasi.
Mencari Jalan Keluar
Untuk menemukan jalan keluar atas hal di atas, dengan adanya angin segar yang mulai berhembus, benarkah kita sudah kita berada dalam trek yang benar. Dan apa saja tantangan yang akan kita hadapi ke depan. Untuk itu, sebaiknya kita mulai menengok data yang di publikasikan oleh wikipedia, yang memberikan daftar negara dengan pengeluaran di bidang penelitian dan pengembangan. Untuk mempermudah dalam pembacaan, maka Saya kelompokkanmenjadi 3 hal :
- Berdasarkan jumlah alokasi biaya
- Amerika Serikat : 405,3 Milyar USD
- China : 298,8 Milyar USD
- Jepang : 160,3 Milyar USD
- Jerman : 69,5 Milyar USD
- Korea Selatan : 55,8 Milyar USD
- Berdasarkan prosentasi atas GDP PPP
- Israel : 4,20 %
- Korea Selatan : 3,74 %
- Jepang : 3,67 %
- Swedia : 3,30 %
- Finlandia : 3,10 %
- Untuk Wilayah Asia Tenggara berdasarkan urutan internasional, alokasi biaya dan prosentase atas GDP PPP
- Singapura (26) : 6,20 Milyar USD (2,20 %)
- Malaysia (37) : 2,60 Milyar USD (0,63%)
- Thailand (40) : 1,46 Milyar USD (0,25%)
- Indonesia (48) : 0,72 Milyar USD (0,07%)
- Philipina (60) : 0,29 Milyar USD (0,09%)
Dari data di atas, nampak tergambar, bahwa sebagai sebuah bangsa perhatian terhadap R & D ini masih sangat lemah. Dari sisi jumlah anggaran yang disediakan untuk mendorong R & D maupun dari prosentase terhada GDP PPP. Untuk wilayah Asia Tenggara saja masih di posisi ke 4 dari sisi jumlah, tetapi dari sisi prosentase ada di posisi ke -5. Jika kita perhatikan dengan produk-produk apa saja, termasuk teknologi yang berkembang di pasaran sekarang, maka anggaran riset di sebuah negara, juga berpengaruh dengan penguasaan pasar globa. Minimal hal ini bisa kita jumpai di Indonesia. Membanjirnya produk dari Amerika, China, Jepang, Jerman dan Korea Selatan, merupakan realitas yang tak terbantahkan. Demikian juga, produk-produk telekomunikasi dari Israel, serta produk-produk lain dari Swedia dan Finlandia merupakan fakta yang nyata.
Lalu bagaimana jalan keluarnya bagi Indonesia? Tidak ada kata lain selain meningkatkan anggaran R &D di APBN, di barengi dengan mendorong dan meningkatkan kemampuan, kualitas dan kapasitas para peneliti di Indonesia. Selain itu, juga merangsang dan memberikan stimulus yang baik bagi akademisi dan peneliti untuk melakukan publikasi ilmiah, baik yang sifatnya nasional maupun internasional. Serta mematenkan, hasil penelitiannya. Disamping itu juga mendorong swasta untuk ikut melakukan inovasi di bidang R &D ini dengan melakukan kebijakan seperti insentif pajak, sebagaimana yang di usulkan oleh Kepala BKPM, maupun yang di jelaskan oleh Menteri Keuangan.
Jika kombinasi ini bisa berjalan dengan baik. Maka Insya Allah masa depan R & D Indonesia akan menjadi cerah. Dan kita akan menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Karena produk-produk yang terjual di negeri ini akan di penuhi dan di banjiri oleh karya anak bangsa. Semoga….