Meskipun masih jauh dari sukses, -tentunya dengan deretan indicator kesuksesan yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah-, tetapi setidaknya saya memiliki pengalaman yang cukup panjang dalam berbisnis. Dengan berbagai hambatan, kendala, tantangan dan rintangan, serta di bumbui beberapa kali keberhasilan, maka rasanya cukup modal bagi saya untuk berbagi kepada sesama. Pendeknya, berkali-kali memasuki lembah kematian (dead valley) dan kemudian bisa, mentas, masuk jurang lagi, mentas lagi, dan seterusnya, begitulah kira-kira siklus bisnis yang saya jalani. Untuk sekedar menghibur diri, saya kemudian tertarik dengan pepatah yang bunyinya kurang lebih begini “Jangan dihiraukan berapa kali anda terjatuh, tetapi lihatlah bagaimana anda bangkit dari setiap kegagalan,”. Berbekal pepatah itu, tidak jarang menjadikan motivasi yang kuat, sehingga membuat senantiasa bangkit dari setiap terjerembab ke dalam lembah kematian itu.
Siklus, yang sangat menguras adrenalin itu, sejatinya berawal dari ketidak adaan “ilmu” yang menyertai ketika awal memulai bisnis. Sehingga trial and error, menjadi teman setia, dalam menapaki bisnis itu. Dan, berdasarkan pengalaman itulah, maka kemudian saya bisa melakukan instrospeksi bahwa, terdapat beberapa kesalahan, yang melekat pada diri saat menjalani bisnis. Jika dulu, saya mengetahui ada kesalahan dalam melangkah, ketika sudah terjadi kegagalan misalnya, sekarang meskipun belum begitu tajam ada semacam intuisi yang melakukan self evaluation terhadap setiap kejadian. Sehingga ada semacam sensor, sebagai early warning system, atau peringatan dini, ketika akan mengerjakan sesuatu. Meskipun belum selamanya pas, akan tetapi setidaknya bisa membantu, untuk memberikan alert, sehingga saya harus berhati-hati, dan sebagainya. Kondisi ini, tidak dengan mudah datang begitu saja, akan tetapi hal ini terjadi karena proses panjang yang memang melelahkan itu.
Awalnya Tanpa ‘Ilmu
Sebenarnya, saya merasa bersyukur, ketika memulai bisnis dulu, tanpa ‘ilmu. Dan langsung terjun saja. Meskipun, ketika awal memulai usaha, juga dengan melakukan feasibility study yang kemudian juga dituangkan dalam business plan. Tetapi apa yang saya tulis di situ, sungguh masih sangat sederhana, jika tidak dikatakan katrok. Saya mencotek dari beberapa buku tentang bagaimana memulai bisnis dan bagaimana cara membuat business plan yang baik. Namun sekali lagi, jika saya baca ulang saat ini, sungguh tidak kontekstual, hanya berprinsip text book thinking atau tepatnya copy –paste thinking, bahkan out of the box.. Sehingga wajar, jika kemudian, sejak di awal-awal memulai usaha, sering diperhadapkan berbagai masalah. Baik yang sifatnya teknis maupun non teknis. Yang seringkali menguras, energy dan sumberdaya lainnya. Karena apa yang tertuang dalam business plan itu, tidak kontekstual dengan apa yang dihadapi di realitas bisnis yang ada, saat itu.
Kendatipun setelah memulai bisnis, seringkali menemui masalah, tetapi bisa dikatakan bisnis bisa berjalan. Lain halnya dengan apa yang dilakukan oleh kenalan saya, yang karena terlalu banyaknya teori tentang bisnis yang di kuasai, menyebabkan bahkan tidak segera memulai bisnisnya. Dia terlalu banyak berfikir, melakukan analisa dengan variable yang banyak, akibatnya, meskipun data yang terkumpul sudah banyak, semua parameter sudah di isi, akan tertapi malah takut untuk memulai. Sebab jika masih belum sempurna, dia tidak yakin bahwa bisnisnya itu akan berhasil. Dan ini, bisa jadi membutuhkan waktu yang tidak pendek. Sementara, bagi yang tidak ber-ilmu –selama kurun waktu itu- sudah merasakan berhasil dan mungkin juga menikmati kegagalan. Dan memang, dia belum dan tidak akan pernah gagal. Karena tidak pernah melakukan apa-apa, sehingga berhasilpun tidak. Dan mungkin banyak kawannya yang sudah mempraktekkan teori-teori yang dia pelajari, sementara dia masih saja disibukkan dengan mencari cara bagaimana mengimplementasikan teori-teori itu. Dengan pengalaman panjang itu, yang dulunya berjalan tanpa ilmu, akhirnya melalui school of life, malah mendapatkan ilmu, yang mungkin tidak dapat di peroleh di bangku sekolah formal.
Tergantung Persepsi
Oleh karena itu, sejatinya berbisnis itu tergantung pada persepsi kita tentang bisnis itu sendiri. Dia akan menjadi pekerjaan yang susah (tidak mudah), manakala kita mempersyaratkan dan juga memasang target yang tinggi dan parameter yang terlalu lengkap. Kita kemudian akan di sibukkan membuat chek list, berkenaan dengan apa saja yang sudah comply dari apa parameter yang kita susun. Dengan kata lain, kita sebenarnya telah menjebak diri kita sendiri, untuk terjerat dalam situasi yang menyulitkan kita. Kendatipun demikian, berarti saya tidak setuju dengan adanya syarat, target dan parameter yang tinggi dan terukur. Itu semua penting, tetapi tidak untuk diimplementasikan di awal membuat bisnis, melainkan kelak ketika bisnis sudah mulai jalan. Sebab tanpa hal itu, juga akan sulit untuk mengukur kinerja bisnis yang kita jalankan.
Disisi lain, bisnis akan menjadi sesuatu yang mudah, bahkan mengasyikkan, jika kemudian kita easy going. Kita memang memasang target, tetapi kita menyadari bahwa, tidak mungkin (=baca berat) ketika masih memulai bisnis, kita sudah harus melengkapi seluruh kelengkapan berusaha, sebagaimana apa yang dilakukan oleh bisnis yang sudah maju. Maka, mind set kita harus di setting, bahwa yang penting itu adalah langkah pertama. Kita harus berani terjun dan memulainya. Bahwa kemudian di belakang hari ada masalah, itu sebuah keniscayaan. Sebab tidak ada, bisnis yang berjalan mulus sejak dari awal, kendati sudah di rencanakan dan dipersiapkan dengan matang. Kata kuncinya, sebagaimana dalam tulisan saya terdahulu, kita harus berani action.
Jadi yakinlah bahwa berbisnis itu mudah. Janganlah pikiran anda dikerangkeng oleh perasaan nanti akan gagal. Percayalah bahwa kegagalan itu sebuah keniscayaan. Mengapa harus di takuti. Dan bangkit dari kegagalan itu adalah sebuah kebanggaan. Jika kemudian mendapat bonus kesuksesan, itu buah dari perjuangan, maka bersyukurlah.