Di perusahaan kami, meskipun saat ini masih sangat kecil, kami sedang mengupayakan berjalannya sebuah devisi Research and Developmen (R&D). Meskipun selama kegiatan R&D sudah berjalan, akan tetapi masih belum memiliki dan mengikuti standard dan prosedur yang baik. Berjalan apa adanya. Belum ada team yang khusus di tempatkan disitu, sedemikian pula halnya, perusahaan juga belum cukup mengalokasikan budget untuk R&D. Dan dengan tanpa adanya alokasi dana dan resources yang cukup untuk R&D tersebut, kami sudah menghasilkan 2 (dua) produk, yang sudah terjual dipasar. Tetapi saya masih belum puas, jika dia tidak dikelola melalui proses R&D yang benar.
Sebagai perusahaan yang berbasis teknologi, kehadiran divisi R&D adalah merupakan sebuah keharusan. Sebab, R&D merupakan nyawa, yang akan menjaga hidup matinya sebuah perusahaan teknologi. Apalagi jika ia, ingin ungul dalam persaingan bisnis. Perusahaan teknologi yang memenangkan pertarungan, adalah mereka yang berani mengalokasikan dananya untuk kepentingan R&D ini. Biasanya mereka mengalokasikan budget untuk kepentingan R&D ini minimal di angka 3,5% dari total revenue. Karena mereka -para perusahaan berbasis teknologi itu- sadar betul, bahwa tanpa adanya R&D maka dia akan tenggelam dan kalah dalam persaingan.
Untuk kepentingan tersebut, kami melakukan pencarian data dari berbabagi source, dengan jenis industri yang berbeda, hanya untuk kepentingan, bagaimana mereka sanat aware terhadap R&D tersubut. Kemudian di rangkum oleh tim kami sebagaimana dalam gambar berikut :
Dari amatan saya, dengan biaya riset yang sedemikian besar itu, pantas saja mereka-mereka itulah, yang selama ini menguasai pasar di dunia.
Sedangkan dari data lain, khusus untuk ICT (Information and Communication Technology) diperoleh data sebagaimana di bawah ini :
Meskipun di negeri ini, sebagian produk-produk software yang ada di list tersebut, banyak yang di bajak, tetapi, mari kita bayangkan dengan spend budget, sebesar itu, yang konon dalam range 5-16% dari revenue, maka bisa kita hitung berapa pendapatan tahunan mereka. Memang inilah kapitalis, yang dalam bahasa H. Roma Irama, yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Atau dengan bahasa lain, yang besar semakin besar, yang kecil nggak sempat tumbuh sudah keburu mati.
Sayangnya budaya R&D ini nampaknya belum dimiliki oleh perusahan-perusahaan nasional Indonesia (termasuk perusahaan saya). Jika tohada, biasanya dikasih nama dengan akronim LITBANG, yang banyak diplesetkan dengan suLIT berkemBANG. Kerjanya tidak jelas, budgetnya minim sekali. Yang diteliti apa, lain pula hasil nya dari tujuan penelitian awal (nanti kita bahas dilain kesempatan). Selanjutnya, menjadi wajar pula, jika selama ini produk-produk bangsa ini, belum mampu bersaing di kancah internasional.
Dari data-data tersebut di atas, dan juga kenyataan bahwa di negeri ini masih belum cukup sadar bahwa, R&D adalah sebuah kebutuhan, maka kami telah memaksakan diri dengan seluruh keterbatasan yang dimiliki, menghadirkan divisi R&D yang paling tidak memenuhi kebutuhan internal perusahaan. Saya sadar, secara pribadi tidak cukup memiliki kapasitas untuk membangun dan mengembangkannya. Tetapi, sebagai technopreneur, bagi saya tidak ada yang tidak bisa atau yang tidak mungkin dilakukan. Asalkan kita ada kemauan, disitu akan ada jalan. Dan saat ini, secara konsep alhamdulillah sekarang sudah ada, meski masih berupa draft. Akan tetapi sudah menggambarkan ruh dan DNA dari R&D yang akan di bangun. Roadmap dan Milestone-nya juga sudah ada. Tinggal di finetune, di seleksi orang-orang yang minat, Insya Allah bisa jalan. Ke depan harapan saya bisa berkolaborasi dengan lembaga penelitian milik pemerintah dan perguruan tingi, yang selanjutnya mampu mengasilkan produk dan solusi yang memang di butuhkan oleh negeri ini. Jika tidak sekarang kapan lagi ?